Iklan

Tuesday, January 08, 2008

Anak alam

Sejak pertama bertemu, lelaki kecil ini telah menyentuh hatiku. Begitu santun, rajin…dan membuatku jatuh iba. Berdua adiknya mengurus camp. Betapa tidak, waktu kutanya, “Kamu kok bisa masak, belajar dimana?” Lalu cerita mengalir, membuat trenyuh. Sejak si abang kelas 4 SD dan adik kelas 2, mereka telah kehilangan ayah. Ibu mereka pergi menjadi TKW ke Malaysia dan tak ada lagi kabar beritanya....Berdua mereka hidup bersama nenek yang sangat miskin, mengerjakan segalanya sendiri, dan dibesarkan alam. Untuk makan mereka harus menangkap ikan dulu di sungai sepulang sekolah, lalu memasak sendiri. Syukur-syukur kalau nenek punya beras. Untuk meneruskan hidup dari hari ke hari mereka harus berjuang, bukan menundukkan alam, tapi bersahabat dengan alam, yang syukurnya di desa mereka masih belum rusak parah. Sungai masih bisa memberikan ikan, rimba masih bisa memberikan sumber penghidupan, kayu tumbang, sayuran liar seperti pakis, genjer, kangkung, dll yang bisa dijual. Dari situ mereka hidup dengan sangat pas-pasan, hingga tidak sanggup lagi meneruskan sekolah dan berhenti setamat Tsanawiyah di kampungnya.

Semula aku fikir umur si abang sekitar 14 tahun, 2 tahun di atas anakku.. Wajahnya masih terlalu kekanakan, Rasanya seperti anakku saja. Ternyata umurnya sudah 19 tahun, dan adiknya 17. Masih remaja. Alam telah mendewasakan mental mereka lebih cepat. Hidup yang keras. Dulu untuk mendapat ikan mereka harus menombak, memancing dan kadang menjala di sungai. “Itulah sebabnya kami jadi pandai berenang, Bu, kalau nombak ikan kami harus bisa berenang dan menyelam,” cerita si adik padaku. “Tapi dulu kami hampir selalu dapat ikan yang lumayan banyak.” Senyum si adik dengan ekspresi wajah yang masih sangat lugu, seperti anak SD. “Iya itu karena Tuhan sayang sama kalian,” jawabku tersekat. Biasa, aku cepat tersentuh mendengar cerita sedih.

Pantas Ufi terkagum-kagum pada keduanya waktu ikut tubing (mengarungi sungai dengan ban). Semula aku ragu melepas Ufi yang kemampuan berenangnya masih ‘cebar-cebur’ saja, tapi kedua anak ini meyakinkanku mereka akan menjaga semua anak-anak yang ikut dan juga memakai life jacket. Keduanya juga pintar menggambar. Bulan lalu kartu-kartu Natal yang digambari mereka dijual di Australia, semoga laku ya! Si abang juga pintar membuat kalung/gelang dari rumput-rumputan dan batu sungai.

Kemudian nenek merekapun meninggal, alam semakin tak bersahabat, sebab manusia memperkosanya. Mereka tak bisa lagi mengandalkan hidup hanya dari alam saja. Pekerjaan apapun dilakoni untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Soal menahan lapar, kadang makan kadang tidak, adalah hal biasa bagi mereka. Hingga bertemu temanku Edy, Manager Camp. Edy ‘menampung’ keduanya di camp, namun tentu saja dengan biaya pribadi, sebab tak mudah membuat justifiksi untuk mengeluarkan uang proyek tanpa tujuan yang jelas tercantum di rencana kerja.

Di camp mereka diajari segala hal, mulai dari mengurus camp, dan mengurus gajah. Tak ada personel camp yang tak jadi pawang juga, hebat kan! Padahal sebelumnya temanku ini sudah mengajukan juga dua orang anak putus sekolah untuk dibina di program kami yang juga terbatas pendanaanya. Ah aku salut dengan temanku ini, masih muda, single, tapi sangat peduli. Aku tahu tiap bulan dia selalu mengirimi orang tuanya di kampung, dan diam-diam juga menyantuni dua anak yatim ini dengan biaya pribadi. Pelajaran di camp seperti ini, benar-benar mencambukku, betapa belum banyak yang bisa kuperbuat untuk orang lain, masih sibuk dengan diri dan keluarga sendiri. Inilah saat-saat aku ingin punya uang lebih, agar bisa membantu orang lain lebih banyak, karena kalau untuk diri sendiri, kadang aku malu pada Tuhan, seperti orang yang tak pernah puas, takut menjadi berlebihan, tak ingin mendustakan rahmatNya yang berlimpah jika meminta terlalu banyak.


Ayahanda Medan, 6 Januari 2008

10 comments:

ichal said...

hati uni mudah sekali tersentuh!!

bahagialah yang bisa merasakan kepedihan seseorang!!

karena ini mencegah kita dari perasaan angkuh dan congkak!

hehehehe, tul gak ya?

Anonymous said...

Meiy, entah gimana...bukan perasaan sedih yg ada. Aku kagum dan bangga. Aku tdk melihat semuanya yg dia alami sbg kepedihan, tp entah bagaimana, justru sbg sebuah tempaan yg membuat mereka lebih hebat dari anak yg lain. Aku justru ingin anakku mampu survive dlm kesulitan hidup dan bersikap keras hati ketika kesulitan datang, tdk mudah jatuh. Tapi sulit sekali mengajarkan hal spt itu pada anak2 yg hidup di tengah kota besar dan dilingkungi oleh banyak kemudahan..

Anonymous said...

aduh meiy....ngeliat yg gini2 bikin perih...:(

Anonymous said...

aduh terharu aku bacanya..hebat banget ya mereka berdua. and syukurlah mereka akhirnya ditampung and diajari bermacam macam di camp.

Anonymous said...

mereka akan sukses di masa depan nanti. saya sudah sering melihat orang-orang yang semasa kecilnya banyak berada dalam tempaan alam, ternyata mereka tumbuh menjadi sosok yang sangat mengagumkan: sanggup survive di kehidupan yang sangat keras sekalipun.

kitalah yang semestinya belajar dari mereka.

L. Pralangga said...

When the going gets tough - the tough gets going... :D

Anonymous said...

prihatin dan salute...

Theresia Maria said...

Salut ama dua anak itu dan temenmu Edy, jeng...

sebenarnya banyak kejadian di sekitar kita yang bisa membuka hati dan mata, hanya saja apakah kita merasa terpanggil buat melakukan sesuatu...
pelajaran juga buat diriku sendiri nih...

unai said...

terharu bacanya Ni...

Vie said...

Kok trenyuh aku bacanya Meiy!

Ternyata masih ada juga orang yg berhati emas seperti si kawan ini.
Gitu juga dengan kawanku si Meiy ini.
Duuuh Meiy, makin pengen aku pulkam n kopdaran kita.