Lalu apakah salah bawa anak ke kantor?
Dulu aku tak pernah berpikir untuk emansisapi, eh emansipasi, perjuangan nasib perempuan, feminisme, dsb—sebab—aku dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang memperlakukan perempuan sama saja derajatnya dengan lelaki, hanya berbeda peran. Mungkin pengaruh masyarakat matriarchal Minangkabau. Masyarakat egaliter. Tak terbersit keinginan untuk memprotes karena situasinya memang tidak memerlukan protes ataupun perjuangan. Di rumahku orang berbagi peran dengan indah J
Baru sewaktu kerja aku mulai berhadapan dengan isu perjuangan hak, sebenarnya tak melulu masalah emansipasi sih, hanya soal hak yang tak diberikan setelah kewajiban ditunaikan.
Pertama bekerja di perusaan asing (Korea) dalam kontrak disebutkan bahwa gaji akan dinaikkan setelah 3 bulan pertama berhasil dilewati dengan sukses. Ternyata 4 bulan, 5 bulan kutunggu tak ada realisasi, akhirnya ya protes ke manajemen, tak sulit karena memang tertulis di kontrak. Aku jadi mendapat pelajaran berharga, di dunia ini memang ada orang-orang tertentu yang suka merampas hak orang lain. Lha coba kalau aku diam saja? Gajiku ya segitu-gitu saja, bisa aja dilaporkan sudah dinaikkan! (gitu sih info dari teman2).
Perjuangan berikutnya waktu kerja dapat Office Manager baru sok kuasa. Dengan latar belakang anak konglomerat yang biasa bekerja di perusahaan milik sendiri, si doi bertindak agak-agak arogan dan sering menerapkan standar ganda (pakai istilah kita2 waktu itu). Sebagai sesama perempuan rasanya pengen tak sobek-sobek tuh orang (tukulisme :D). Perempuan nyebelin ini kuhadapi mati-matian waktu menyusun konsep “Staff Employment Condition” yang berisi segala peraturan di kantor termasuk hak cuti melahirkan, menyusui, haid dsb, bagi perempuan. Dia tidak memperkenankan cuti melahirkan 3 bulan, mau dipotong jadi 1.5 bulan saja! Padahal diperusahaanku dulu itu boleh-boleh saja. Genderang perangpun ditabuh! Aku berusaha mencari undang-undangnya kesana kemari, untuk protes manajemen. Walaupun dulu kuliah, aku nggak mengerti masalah hukum sama sekali, apalagi di negeri ini hukumnya ajaib, kabarnya seperti sulap gitu deh (apa aparat hukumnyaTukang Sulap kalee?).
Alhamdulillah ada teman ahli hukum yang juga aktivis anak & perempuan siap membantu, dia melengkapiku dengan segala foto-kopian tentang hak-hak wanita pekerja, hak untuk menyusui, cuti, dsb. FYI aja, bapak-bapak juga punya hak cuti waktu anaknya lahir lho! Aku berhasil membuat aturan kantor diubah sesuai hukum di Indonesia dan hak-hak azasi universal (apalah gue lupa tekhnisnya), walau sangat menyedihkan saat berjuang--perempuan lain yang sesama staf cuek-cuek aja, nggak bantu sama sekali, baru waktu hasilnya keluar mereka bisa menikmati. Dua orang yang kebetulan mau melahirkan mendapatkan hak cuti plus gaji penuh. Padahal aku dulu pernah hanya dibayarkan setengah gaji, sudah protes, tapi dengan alasan proyek bangkrut hakku tidak dibayarkan. Namun kebenaran tetap akan ditegakkan. Toh dunia memang begitu, ada orang yang memang suka mengambil yang bukan haknya, mengabaikan kewajiban, menjadi pioneer, menjadi ujung tombak, pelaku di balik layar, opurtunis saja dsb.
Aku sendiri bukan ingin jadi pahlawan tak bertopeng (berbedak aja jarang apalagi topeng) atau spider women (soalnya gak suka superwoman, mang ada?). Mungkin karena latar belakang didikan Ibuku dan Uwo (nenek) dulu, aku tak pernah bisa menerima perlakuan tak adil. Mereka mengajariku untuk berusaha, berjuang. Sering terngiang kata-kata Ibuku dulu waktu kecil…"Kita ini Bundo Kanduang Nak,…mesti bijak, harus bisa mencari jalan keluar untuk persolan orang lain di kampung ini, apalagi hanya persolan sendiri...dsb...” Ilmuku tentang adat Minang tak banyak, lebih banyak bertemu nilai-nilai praktis & pragmatis yang positif yang diajarkan ortu.
Begitulah, lumayan sering aku berhadapan dengan orang-orang yang tak menghargai hak orang lain, terutama hak perempuan. Kalau diam saja dapat apa coba?
Kasihannya banyak perempuan di negeri ini tak tahu, bahkan mungkin tak berpikir untuk memperjuangkan nasibnya karena telah menerima begitu saja nasibnya sesuai latarbelakang bagaimana otak, hati dan jiwa nya “dicekoki” waktu dalam proses pendidikan. Atau bahkan tak menyadari bahwa dia punya hak disamping kewajiban. Tak hanya di tempat kerja, di rumah tangganya sendiri saja masih banyak perempuan mendapat kekerasaan dari suami (kalau kekerasan yg 'itu' bolehlah hehehe ;) ). Dan lumayan banyak wanita-wanita teraniaya di negeri ini, liat ajalah di media. Aku hanya berharap, perempuan-perempuan atau lelaki yang lebih mengerti hak & kewajiban perempuan bisa menuntun mereka-mereka yang tidak tahu, buta hukum—bukan seperti eks OM-ku itu (kabar baiknya OM ini akhirnya nyerah resign sendiri karena terus menerus di protes kebijakannya yang tidak bijak itu oleh aktivis yang dibawahinya (lho kok namanya kebijakan?).
Saat ini aku bersyukur, aku tak perlu meminta-minta hakku dikantor, bosku sendiri yang menyarankan agar anakku dibawa saja ke kantor, menyediakan ayunan bahkan. Kalau bolak-balik ke rumah untuk menyusui agak sulit, waktunya plus ongkosnya (nah ingat! ini juga hak perempuan menyusui pada jam kerja!). Kebetulan di kantor ada kamar yang biasa dipakai staf atau tamu yang bermalam. Lalu apakah kita menjadi tidak profesional? Profesional atau tidak ada sistem sendiri toh di institusi masing-masing? Aku sendiri bekerja dengan output oriented dan skedul yang ketat, bisa masuk mulai dari jam 08.30-17.00 atau 09.00-17.30. Aku pilih yang jam 09 karena aku tetaplah Ibu-ibu yang harus mengurus rumah dulu sebelum ngantor. Pulangnya jam 17.30 tapi lebih sering lebih telat, banyakan kantor yang mengkorupsi waktuku huhuhu. Namun dengan sistem yang menyenangkan di kantorku, alhamdulillah jam kerja yang panjang, beban kerja yang banyak tak banyak membuat stress. Semuanya perjuangan man!
Pernah seorang dokter anak di Kompleks Setia Budi menasehatiku tentang hak-hak Ibu dan anak waktu bawa anakku Furqan berobat dulu. Aku salut sama Pak Dokter ini. Dia bercerita tentang perjuangan seorang wanita Mexico yang bekerja di pabrik untuk bisa menyusui dan membawa anaknya bekerja. Dia berhasil mendapat haknya dan bekerja sambil menggendong si anak di punggung! Sulit kubayangkan, bagaimana bisa kerja seperti itu, anak kan bukan boneka yang diam saja? Pengen protes ke Pak Dokter, tapi aku ambil nilai positifnya saja. Dia wanti-wanti banget agar aku tetap memberi ASI pada anak-anak semaksimal mungkin.
Memang sulit membawa anak bekerja kalau harus kita sendiri yang menjaganya. Lha sewaktu menyusui di depan kompi aja my Naysa langsung pencet-pencet keyboard dan kaki mungilnya yang lasak itu langsung nendang-nendang apa saja yang dapat. Aku beruntung ada istri temanku yang belum punya anak bersedia menjaga Naysa, alhamdulillah dia sangat sayang. Kadang dibawa kerumahnya dekat kantor, kalau mau mimi’ ASI atau tidur dibawa ke kantor.
Apapun situasinya, cobalah meraih yang terbaik untuk hak Ibu dan anak yang bisa dilakukan. Allah memberi jalan keluar untuk yang berusaha. Abangku (misoa) pernah bercerita di pasar dia melihat Ibu-ibu yang jualan sayur sambil menidurkan bayinya di sebelahnya! Aku bahkan sering bertemu seorang perempuan yang mendayung becak bawa barang-barang dagangan ke pasar sambil menggendong anak di punggung! Ibu-ibu yang menyelam mencari tiram di Aceh sampai mukanya hitam terbakar matahari...Merekalah perempuan-perempuan hebat!
Yang penting, tunaikan kewajibanmu, perjuangkan hidupmu perempuan, dimana saja...
Untuk perempuan-perempuan hebat di bumi.
RB, May 7, 2007
**Notes: kayanya perlu nambahin neh, perempuan hebat itu alalah semisal Ibu-ibu yg sanggup mendayung becak sambil gendong anak di punggung, dst...bukan aku ya! Soalnya ada yg salutin aku, duh jadi malu. Aku mah nggak ada apa-apanya, berusaha juga karena dibantu teman-teman, hanya karena gak suka diperlakukan tidak adil.
10 comments:
Uni hebat bana...salut, selamat berjuang perempuan tangguh :)
Meiy, ceritamu itu, wah aku baca sambil kucerna baik-baik. Salutlah aku! Kalau bukan kita sendiri yang mempertahankan hak-hak kita, siapa lagi?!
Eniwei, di Canada, cuti melahirkan itu sampe setaon loh!
uni keren tulisan nyo Bravo Uniii salut. hak menyususi dikantor wow keren
"kakinya yang "lasak" itu..." Lai ndak di luar Medan nan mamake kata lasak?
Tulisan ini dedicated untuk perempuan2 hebat di dunia. Hmm, memang ngga ada salahnya sesekali mendedikasikan tulisan untuk diri sendiri.
Oiya, ala pana maliek fotoko kan? http://i58.photobucket.com/albums/g250/sitoga/mother.jpg
kok jadinya anonymous sih? that's mine.
dear meiy.....
bangga menjadi seorang perempuan
dg segala keunikannya, berusaha tegar berdiri utk org2 yg dicintainya....
meski seringkali tidak mudah utk sejalan dengan kepentingan pribadinya.....
nice posting meiy
Waaahhh, kantornya nya enak.... memberikan kebebasan terhadap perempuan, khususnya seorang ibu yang memiliki anak...
Mba Meiy,....
Unai & Toga :
jadi malu soalnya yg aku maksud hebat itu adalah perempuan2 yg seperti ibu2 yg kuceritakan, mendayung becak sambil kerja n gendong anak, dsb...
Kslau aku ndak ada apa2nya sih, berjuang juga krn dibantu orang lain, tmnku yg ngerti hukum.Thx for him (Ade 'Jaka Lasak' Ilyasak)
Iya aku dah liat n baca ttg foto itu di blogmu, Lae.
Vie: hebat deh org Canada, negeri kita yg ngaku beragama (n pancasila?)aja ga bisa begitu yah vie.
Pipit: Iyo diak, vie benar siapa yg akan memperjuangkan nasib perempuan kalau bukan dia sendiri? Soalnya di dunia ini ada perempuan yg juga suka menjajah perempuan :D jadi bukan hanya lelaki.
Nila: kamu selalu bijak ya nila. great!
Yuriko: nah tar kalau Kiko punya anak perjuangkan agar mendapat kan hak disamping menunaikan kewajiban ya!
Spot on. Great posting Meiy and I love your new layout - lovely.
Oya, di Norway cuti melahirkan juga setahun, RS gratis, malah dikasi uang 2 minggu sebelum melahirkan.
Kapan ya Indonesia bisa seperti itu?
Anyway, Naysa lucu banget :)
good point for this posting !
tapi bagaimana dengan perempuan2 beruntung yg tdk harus mengayuh becak sambil menggendong anak, tanpa kekerasan dlm rumah tangga? Kebesaran Tuhan semata manakala menciptakan perempuan yang memiliki segala kekuatan fisk maupun hati, untuk segala suasana yang ada di hadapannya. Maka wajiblah perempuan itu sendiri menjaga segala kehormatan dirinya.
Post a Comment