Iklan

Tuesday, March 22, 2005

Mengamati Burung

“Mengamati Burung? Apa sih asyiknya? Mengamati burung apa nih?” Dulu aku bertanya-tanya dalam hati apa sih enaknya memperhatikan burung-burung yang terbang. Hal biasa kan...tapi karena keseringan berteman dengan seorang ‘twitcher’ pencinta burung atau tepatnya penggila burung, aku jadi ikut-ikutan suka memperhatikan burung-burung. Sampai-sampai kalau dengar suara burung, aku langsung mencari arah datangnya. Suatu kali waktu sedang berjalan aku mendengar suara burung, lalu asyik melihat-lihat keatas...eh tiba-tiba “jedug!” aku nabrak tiang listrik deh. (awas yang ini jangan ditiru!) Tapi itu tak membuat jera karena ternyata memang asyik mengamati burung!

Sabtu dan Minggu adalah jadwal yang ditetapkan oleh teman-temanku penyuka burung untuk mengamati burung di seputaran Banda Aceh saat ini. Ada yang memang ingin melakukan penelitian untuk skripsi, ada yang karena hobi, dan aku, karena ingin belajar lebih banyak tentang burung. Selama ini aku hanya melihat burung, tanpa banyak tahu apa namanya, apa fungsinya untuk alam ini, dsb.

Jadilah Sabtu tanggal 20 November lalu aku ikut teman-temanku sesama pencinta alam; Tisna (ahli burung), Mady (peneliti), Taufiq (pengamat) dan Azhar (aktivis konservasi). Pengamatan kami lakukan di sepanjang pantai Alue Naga dan Syiah Kuala dengan fokus burung air. Sepanjang pantai ini memang masih ada burung-burung air yang tersisa dan bertahan hidup di sisa-sisa hutan bakau yang sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak udang atau ikan. Nah sebelum berangkat ‘suhu’ kami Mbak Tisna membekali dengan makalah tentang ‘tuntunan mengamati burung’ yakni harus berpakaian yang tidak mencolok, bawa teropong untuk burung (binocular), kamera, catatan, buku referensi, diam saat mengamati, dan petunjuk lain yang dirasa penting.

Wah ‘berkuah’ juga sore-sore sekitar jam 15.30 kami mulai memasuki ‘hutan’ bakau di Syiah Kuala. Di kota kecil ujung Sumatera ini, matahari sangat kejam meneriki kulit, untungnya angin laut yang berhembus semilir, segera mendinginkan setiap kali panas menyengat. Apalagi saat melihat burung-burung bangau putih yang bulunya sangat bersih, hilang deh segala penat. Artistik sekali ciptaan Tuhan. Belum lagi pohon-pohon bakau, ada beberapa jenis. Eksotis sekali akar bakau ini. Aku paling suka yang berbunga merah. Meriah euy (eh iklan ya?! Kapan-kapan nyari referensi bakau ah). Senja itu ada dua macam burung bangau (atau di Jawa disebut Kuntul), yang besar dan yang lebih kecil.

“Mereka beda species tapi masih satu family, kata Tutor kami, Mbak Tisna.

“Nah, coba perhatikan, burung yang ini sedang ‘breeding’ alias musim kawin, ada semacam jambul di bagian belakang kepalanya, dan bulunya sedikit mengembang”, kata Tisna menjelaskan kepada kami dan memberikan teropongnya ke aku untuk mengamati.

“Hmm seksi sekali ya burung bangau!”, komentarku.

“Nama latinnya Egretta alba, kalian harus menghafalkan nama Latin, soalnya kalau nama daerah susah, untuk satu burung aja beda daerah beda nama. Kalau di Jawa ini disebut Burung Kuntul,” jelas suhu kami.

Begitulah sore itu kami berjalan memasuki sisa hutan bakau disela-sela tambak ikan atau udang, dengan semangat futurisme (karena semangat ’45 udah ketinggalan zaman), bertemu dengan beberapa ekor burung, mengamati dan mencatat namanya sambil bertanya kepada sang suhu, atau kalau kurang jelas mencari di buku referensi. Aku mencatat (sambil nyontek punya teman) beberapa jenis burung yang sangat indah yaitu, Kuntul Besar (Egretta alba), Kuntul kecil (Egretta garzetta), Bangau coklat keunguan (Ardea purpura), Raja Udang (Halcyon chloris), Elang Laut (Pandion haliaetus), Kokokan Laut (Butorides striatus) dan Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis). Susah sekali meghafal Bahasa Latin. Kalau nama Indonesianya sih relatif, ada yang aku namai sendiri hehe.

Mady yang juga fotografer, sempat ‘ngezoom’ seekor elang laut yang sedang terbang. Tapi paling bagus adalah foto dua ekor “King Fisher” alias raja ikan (Halcyon chloris) yang di Aceh sering di sebut burung raja udang, dengan warnanya yang menarik; putih hitam dan biru metalik, sedang bertengger di pohon bakau berbunga merah... (Dy, nanti bagi aku fotonya ya!)

Memang burung ternyata lebih indah di alam, begitu harmonis warna-warni mereka diantara pohon-pohon. Begitu indah saat terbang, apalagi burung elang laut...wah perkasa! Sayapnya seolah tak bergerak, terbang melanglang buana...dan dengan lincah memangsa ikan, dengan beberapa putaran dan ancang-ancang. Mereka hidup menurut sunatullah, tetapi selalu dikacaukan oleh manusia yang sering mencari kesenangan dan kepuasan sendiri, tanpa memikirkan keselarasan alam. Manusia menangkap dan mengurung burung, ‘just for fun’ tanpa pernah memikirkan apa akibatnya kalau semua burung punah?

Burung adalah penyebar biji-bijian, membantu perkembangbiakan buah-buahan, pohon-pohonan, berfungsi sangat penting untuk regenerasi hutan. Dan burung adalah indikator penting untuk mengukur tingkat kerusakan hutan. Selain itu suaranya yang merdu adalah musik alam yang indah, sayang karena suaranya ini, banyak burung-burung di tangkap dan di ‘penjara’ di sangkar-sangkar. Kenapa ya banyak orang yang suka memenjara burung? Coba deh pandangi mata burung yang terkurung, pasti sedih. Mereka bukan bernyanyi di sangkar emas, tetapi merintih. Nggak percaya? Coba aja tanya mereka! Makanya mulai sekarang berhentilah mengurung burung, biarkan mereka bebas di alam. Boleh sih mengurung burung, tapi memang jenis burung yang harus di kurung (burung apa ya? ).

17 Desember 2004

No comments: