Menjelang siang, matahari merah jingga
bundar membakar mega-mega jauh di langit
dibawahnya mendung menggantung selimuti bumi
seperti goresan kelabu yang tutupi pandang kearah sang surya
Seekor anak kodok berlompatan gembira
“Mama, mama hujan akan turun! mari siapkan musik & bernyanyi.”
dan iapun menari, irama ria
Namun sang Ibu duduk berduka
“Anakku, kabut di langit bukan mendung, sayang
tetapi asap karena kebakaran
entah hutan mana lagi yang jadi korban
dulu rumah kita rimba kecil yang indah dimana anak-anak kodok bercanda, berkejaran, bermain hujan
sambil senandungkan kidung sukacita.”
“Kini, kita cuma punya doa, anakku
agar besok pagi mereka tak hancurkan istana kita
dan manusia-manusia serakah menutupi rawa dengan badak besi yang murka.”
“Mungkin kita masih bisa mengungsi ke selokan kumuh mama, tapi bagaimana dengan tetangga kita, keluarga ular dan kura-kura?
oh, mama! mereka pasti akan dibunuh, ditimbun dan diatasnya didirikan gedung kebanggaan manusia.”
“Entahlah anakku…
mama tak punya jawaban lagi, mari kita bernyanyi, hilangkan luka hati
meski nyanyian kita adalah elegi
karena kita adalah yang tersisa dari kerakusan manusia.”
(seekor burung gereja terbang di atas mereka, menunduk & meneteskan airmata,
dia tercenung: bagaimana nasib kita & nasib bumi esok hari?)
Medan, August 24, 2002
No comments:
Post a Comment